Senin, 19 September 2016

FRIEND IS SOUND

Oke, biar ku jelaskan dulu posisiku sekarang. Aku sedang ada di rumah Kakakku. Dia itu bukan kakak kandung, tapi terikat keluarga oleh pamanku, dan katanya aku harus manggil kakak. Dia sudah punya istri dan dua anak, semuanya perempuan. Anak sulungnya sudah menikah, dan diboyong suaminya untuk tidak tinggal lagi bersama orangtuanya. Rumah ini sebenarnya bukan rumah Kakakku, tapi rumah Dinas. Selain tinggal Dia juga bekerja disini karena rumah dan kantornya bersebelahan, sangat dekat.
Rumah Dinas itu, rumah dinas yang sedang ditinggali Kakakku bersama keluarga kecilnya,  dengan dua kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu, dan ruang tengah dan juga terasnya. Di bagian depan halamannya cukup luas, sehingga bisa digunakan anak-anak untuk bermain bola, jika mau. Di belakang Rumah dinas itu adalah kandang ayam yang dikelilingi pagar bambu agar supaya ayam-ayam itu tidak berkeliaran kemana-mana, aku kira itu ide cemerlang.
Alasan kenapa aku ada disini sebenarnya apa ya? Entahlah, tapi aku hanya mencoba mengisi waktu dengan hal-hal yang tidak perlu. Sebenarnya lebih penting jika kita selalu dekat dengan keluarga kita sendiri, dengan ayah, dengan ibu, dengan rumah kita sendiri, ketika banyak waktu yang kita gunakan untuk menjauhi mereka. Tapi ketika aku “dipinta” oleh kakakku, katanya untuk membantunya dalam meyelesaikan pekerjaanya. Okelah, aku ikut.
Selama beberapa hari awal, seperti ada di dunia baru yang jauh dari orangtua dan teman-teman, dan memang yang ku rasakan saat itu adalah enjoy saja, karena tidak salahnya mencoba gimana rasanya jauh dari mereka yang hampir setiap hari mengisi hidup kita dengan aneka macam perasaan yang membuat hidup lebih berwarna dan indah.
Pagi datang, aku bangun bersama yang lainnya, karena tidak mungkin tidur sampai sore, mungkin saja sih, kalau mau. Aku duduk, dan di depanku sudah ada laptop untuk membantuku menyelesaikan pekerjaan Kakakku. Dia kakakku datang membawa berkas yang harus aku ketik, katanya. Aku nurut saja. Istri kakakku datang membawa kopi yang harus aku minum, kalo enggak? Mubazir. “Makasih” kataku. Hampir setiap hari seperti itu, sampai berminggu-minggu dan jenuh mulai merasuki seluruh tubuhku.
Dalam otakku mulai membayangkan kalau saja aku masih di kampung halamanku, bersama mereka, bersama orangtua dan teman-temanku, bersama tawa, bersama senyuman, bersama kebersamaan walaupun tak mengerjakan apa-apa.
Hari-hari berlalu, aku semakin ingin keluar dari penat ini. Aku merasa aku butuh teman, teman yang bernyanyi bersama ketika aku bermain gitar, teman yang siap mengantar ke mana pun aku mau, teman yang candaannya dibutuhkan ketika ngobrol. Aku sekarang tahu, Oh seperti ini hidup tanpa teman itu, tenyata memang benar-benar berarti ketika aku ingat aku selalu menyianyiakan keberadaan mereka.
Kupikir semua akan baik saja, ketika aku jauh dari teman-teman. Namun, jujur saja aku tidak bisa mengatasi hal ini. Ini sudah melebihi batas kejenuhanku. Aku rindu mereka.
Kemudian adalah sunyi yang memenuhi udara kamarku, serta semua elemen yang mendukung untuk itu. Aku jarang lagi tertawa, kadang-kadang tersenyum, kukira itu dapat membantu dalam kondisi seperti ini. Dalam hati aku selalu berkata : Seandainya ada teman, walau hanya seorang. Aku sebenarnya tersiksa oleh ini, seperti terjajah oleh sepi, yang semakin menekan hati. Aku ingin pergi dan bebas. Dan aku merasa teman itu seperti suara, suara ketika sepi, suara yang lembut menenangkan, dan ketika aku benar-benar menyukainya.

Semua orang yang ada di posisiku pasti merasakan sesuatu yang sama denganku. Kupikir ini normal. Ketika kamu berada jauh dengan teman-teman, apa yang kamu rasakan? Karena hampir setiap hari, mungkin memang setiap hari, sejak aku ada disini, aku tak pernah bertemu dengan mereka lagi. Ini memang masalah jarak. Aku seakan terhempas jauh ke luar angkasa. Sekarang, menurutku, Keluarga dan teman itu sama-sama penting. Meskipun dalam hal apapun keluarga lebih utama. Aku disini bersama keluarga, tapi tanpa teman seolah kelurga itu adalah orang lain. Maksudku aku tak mungkin mengajak mereka bernyanyi saat aku bermain gitar, atau mungkin saja, jika mereka mau, tapi aku takan berani ketika mereka sibuk. Atau dalam hal ini bisa ku definisikan kalau teman itu adalah seseorang yang bisa kita ajak untuk gila-gilaan. Hari ini dan selamanya, aku butuh teman.

Kamis, 01 September 2016

CERPEN PALING AMATIR SEDUNIA #1

Ini adalah cerpen saya waktu dulu. Dulu sekali. Ketika saya belum mengenal dewasa. Dan apapun yang saya lakukan bersama kawan adalah suatu kesenangan. Begitu bebas, karena masih asing dengan yang namanya dosa. Menulis ini menjadikan memori dulu terkenang kembali. Bersama dua sahabatku Dodi dan Budi yang sampai selamanya akan menjadi kawan. Ini dia...

Untittled

Setiap Hari minggu. Waktu masih TK. Kami suka kumpul di Rumah Dodi. Waktu itu diantara kami bertiga, dia seorang yang punya TV. Kami sengaja datang untuk menonton film kartun favorit yang tayang setiap minggu. Tapi sebelum itu Budi suka ke rumah untuk nyampeur. Itu Bahasa Sunda artinya ngajak.

”Maaaang” teriak Budi memanggilku.

“Euuuyy” sahutku menjawab Budi sambil keluar.
Artinya: “Ya”
“Ayo Mang kita main ke rumah Dodi” Ajak Budi.

“Ayo ayo, tunggu ya mau minta uang dulu” Aku pergi ke dalam dan menemui ibuku untuk minta uang.

“Yu ah!” kataku ketika sudah keluar lagi. (Ayo!)

Tidak sampai satu menit kami sudah sampai di Rumah Dodi karena dekat.


”Dooood” Panggil Budi.

“Loooo” aku ikut manggil.

“Euy. Sini masuk” sahut Dodi.

Aku dan Budi masuk, didapati Dodi sedang makan dan menonton Film Kartun Pokemon.

“Hayu dahar, Mang, Bud” tawar Dodi.
Artinya : “Ayo makan”

“Mangga-mangga” sahut kami berdua hampir bersamaan. (Mari-mari)

Karena film kartunnya seru-seru, waktu jadi gak kerasa, tibalah saatnya serial yang ditunggu-tunggu yaitu: Power Ranger!

Biasanya pas waktu OSTnya diputar, yaitu sebelum ke jalan cerita. Kami suka menari-nari di depan TV. Saking senangnya. Itulah kesenangan sendiri bagi kami. Setelah selesai, kami cepat-cepat duduk untuk konsentrasi nonton.

“Tah urang milih ieu, yeuh” kata Dodi sambil menunjuk Ranger Merah.
(“Nah,  aku pilih yang ini nih”)

“Naon eta mah urang yey” timpal Budi
(“Apa, itu aku”)

“Nggeus meh aman mah mending urang nu beureum mah” kataku.
(“Sudah-sudah, biar aman mending aku yang merah”)

“Ih embung urang nu beureum mah ti keur orok ge!” Dodi tak mau kalah.
(“Gak mau. Aku pilih yang merah udah dari bayi!”)
“Heuh bae lah urg nu Bodas” kataku.
(Ya sudah, aku pilih yang Putih”)

“Urang nu Biru” kata Budi seolah merelakan Si Ranger Merah untuk Dodi.
(“Aku yang Biru”)

Setelah nonton, biasanya kami membeli makanan ringan ke warung Ma Aum, lokasinya deket dari rumah Dodi. Dimakan nya suka di kamar Dodi. Di dalam kamar Dodi ada Spring bed, waktu itu satu dua orang saja yang punya. Karena pegas, dodi mengajak kami untuk melompat lompat diatasnya.

“Euy, urang sesmackdownan yu ah” ajak Dodi. waktu itu sedang tren tarung Smack Down. Artinya: (“Hey, main Smack Down, Yuk!”)

“Yu ah, pasti rame” Kata Budi setuju. (Ayo! Pasti seru tuh)
Aku sih oke-oke saja.

Ketika sudah berdiri diatasnya kami mulai melompat-lompat, sambil tertawa gembira. Asik sekali rasanya waktu itu. Seakan lupa segalanya.
Kami saling menjatuhkan seperti dalam Smack Down, tapi tetap ada tawa menghiasi wajah kami.

Kira-kira waktu itu jam 12 siang, ketika ibu Dodi baru pulang dari sawah. Tapi kami masih lanjut karena seru. Terdengar pintu rumah terbuka. Benar saja ibu Dodi karena terdengar mengucap salam. Kami masih terus bermain tanpa menghiraukan kedatangannya.


"Heh! Nanaonan siah!" Kata Ibu Dodi Tiba-tiba. (“Hey! Kalian Apa-apaan?!”)

Kami semua langsung berhenti dan duduk diatas spring bed itu. Kaget sekaligus takut yamg kami rasa. Kami melihat ke arah Ibu Dodi.


"Babari rusak geura kasur teh!" Tambahnya, sekarang kami tak berani menatapnya lagi. Dan masih Diam. (“Kalian mau kasurnya cepat rusak!”)

"Kalaluar! Di luar ulinna!" (Kalian keluar! Di luar mainnya!) 

Kami tak berani berkata apa-apa. Bahkan kata maaf pun sulit keluar. Dodi sama, dia hanya diam. Kemudian kami keluar sambil nunduk. Diiringi tatapan Ibu Dodi yang masih marah.
Setelah itu kami pindah ke rumahku.

Di perjalanan, sebelum sampai. Kami sadar telah berbuat salah. Tapi kenapa belum minta maaf? Itulah yang terus kupikirkan. Aku harus mengajak mereka kembali ke Rumah Dodi.

“Euy,balik deui yu” ujarku. (Hey, kembali yuk)

“Rek naon?” tanya Budi. (Mau apa?)

“Ngenta hampura. Yu ah” jawabku. (Minta Maaf. Yuk)

“Ah, Enggeus bae engke ku urang” timpal Dodi. (Sudah, nanti biar aku saja)

“Ih ulah kitu. Nu boga salahna pan tiluan, nu ngenta hampura ge kudu tiluan” kataku kemudian. (Jangan begitu, yang punya salah kan bertiga, yang harus minta maaf juga harus bertiga)

“Heuh bener Dod. Yu ah” kata Budi setuju. (Iya benar Dod. Yuk)

Kami memberanikan diri untuk kembali. Meski sebenarnya rasa takut itu masih ada. Sesampainya di Rumah Dodi..

Ibu Dodi sedang istirahat di kursi sambil menonton TV. Kami berdiri disampingnya.

“Mah” kata Dodi manggil Ibunya dengan suara yang pelan.

“Rek naon balik deui?” jawab Ibu Dodi (Mau apa kembali lagi?)

“Mah, Tadi hapunten” kata Dodi (tadi maaf)

“Enya mah, moal kitu-kitu deui” tambahku. (Iya, Gak akan seperti itu lagi)

“Jangji mah” tambah Budi lagi.

Ibu Dodi kulihat senyum. Dia memaafkan kami, asal jangan diulang lagi seperti itu, katanya.

“Nam geura arulin deui” kata Ibu Dodi. (Ya sudah, sana main lagi)

Kami pun keluar dengan perasaan yang lega ditambah senang. Ketakutan kami sudah hilang.
Kami semua lanjut bermain. Yaitu di lapang kecil (tidak jadi ke rumahku) untuk sepakbola bersama kawan-kawan lain.

Terima kasih:)

NYOBA NGEPOS!

Assalamualaikum,

Terima kasih telah membaca pos ini. Padahal ini hanya percobaan. Mudah-mudahan berhasil, tapi kalau gagal juga tidak apa-apa. Karena sama saja, jika gagal saya akan mencoba kembali, jika berhasil saya akan teruskan. Udah dulu jangan banyak-banyak kalau gagal sayang tenaga dan waktu juga listrik. Udah ya. Daaaaaaaaaaah!